Senin, 31 Agustus 2009

Muhasabah

Muhasabah



Dari Syadad bin Aus r.a., dari Rasulullah saw., bahwa beliau berkata, ‘Orang yang pandai adalah yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri serta beramal untuk kehidupan sesudah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah yang dirinya mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah swt. (HR. Imam Turmudzi, ia berkata, ‘Hadits ini adalah hadits hasan’)
Gambaran Umum Hadits
Hadits di atas menggambarkan urgensi muhasabah (evaluasi diri) dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Karena hidup di dunia merupakan rangkaian dari sebuah planing dan misi besar seorang hamba, yaitu menggapai keridhaan Rab-nya. Dan dalam menjalankan misi tersebut, seseorang tentunya harus memiliki visi (ghayah), perencanaan (ahdaf), strategi (takhtith), pelaksanaan (tatbiq) dan evaluasi (muhasabah). Hal terakhir merupakan pembahasan utama yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam hadits ini. Bahkan dengan jelas, Rasulullah mengaitkan evaluasi dengan kesuksesan, sedangkan kegagalan dengan mengikuti hawa nafsu dan banyak angan.
Indikasi Kesuksesan dan Kegagalan
Hadits di atas dibuka Rasulullah dengan sabdanya, ‘Orang yang pandai (sukses) adalah yang mengevaluasi dirinya serta beramal untuk kehidupan setelah kematiannya.’ Ungkapan sederhana ini sungguh menggambarkan sebuah visi yang harus dimiliki seorang muslim. Sebuah visi yang membentang bahkan menembus dimensi kehidupan dunia, yaitu visi hingga kehidupan setelah kematian.
Seorang muslim tidak seharusnya hanya berwawasan sempit dan terbatas, sekedar pemenuhan keinginan untuk jangka waktu sesaat. Namun lebih dari itu, seorang muslim harus memiliki visi dan planing untuk kehidupannya yang lebih kekal abadi. Karena orang sukses adalah yang mampu mengatur keinginan singkatnya demi keinginan jangka panjangnya. Orang bertakwa adalah yang ‘rela’ mengorbankan keinginan duniawinya, demi tujuan yang lebih mulia, ‘kebahagian kehidupan ukhrawi.’
Dalam Al-Qur’an, Allah swt. seringkali mengingatkan hamba-hamba-Nya mengenai visi besar ini, di antaranya adalah dalam QS. Al-Hasyr (59): 18–19.
Muhasabah atau evaluasi atas visi inilah yang digambarkan oleh Rasulullah saw. sebagai kunci pertama dari kesuksesan. Selain itu, Rasulullah saw. juga menjelaskan kunci kesuksesan yang kedua, yaitu action after evaluation. Artinya setelah evaluasi harus ada aksi perbaikan. Dan hal ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya dalam hadits di atas dengan ’dan beramal untuk kehidupan sesudah kematian.’ Potongan hadits yang terakhir ini diungkapkan Rasulullah saw. langsung setelah penjelasan tentang muhasabah. Karena muhasabah juga tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya tindak lanjut atau perbaikan.
Terdapat hal menarik yang tersirat dari hadits di atas, khususnya dalam penjelasan Rasulullah saw. mengenai kesuksesan. Orang yang pandai senantiasa evaluasi terhadap amalnya, serta beramal untuk kehidupan jangka panjangnya yaitu kehidupan akhirat. Dan evaluasi tersebut dilakukan untuk kepentingan dirinya, dalam rangka peningkatan kepribadiannya sendiri
Sementara kebalikannya, yaitu kegagalan. Disebut oleh Rasulullah saw, dengan ‘orang yang lemah’, memiliki dua ciri mendasar yaitu orang yang mengikuti hawa nafsunya, membiarkan hidupnya tidak memiliki visi, tidak memiliki planing, tidak ada action dari planingnya, terlebih-lebih memuhasabahi perjalanan hidupnya. Sedangkan yang kedua adalah memiliki banyak angan-angan dan khayalan, ’berangan-angan terhadap Allah.’ Maksudnya, adalah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi, sebagai berikut: Dia (orang yang lemah), bersamaan dengan lemahnya ketaatannya kepada Allah dan selalu mengikuti hawa nafsunya, tidak pernah meminta ampunan kepada Allah, bahkan selalu berangan-angan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.
Urgensi Muhasabah
Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.
1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:
‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.
Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.
2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:
‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.
Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.
3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].
Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi
Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.
1.Aspek Ibadah
Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki
Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)
3.Aspek Kehidupan Sosial Keislaman
Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)
Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.

Kamis, 13 Agustus 2009

Bagaimana menyentuh Hati

Betapa senang jika kita punya banyak teman. Betapa gembira jika perkataan dan perintah kita diikuti orang lain. Ternyata kuncinya ada pada suasana qalbu kita. Sehingga Rasulullah saw. mengingatkan kita akan pentingnya menjaga hati yang bersih. Sebagaimana sabda beliau;
“Ketahuilah bahwa sesunggunhynya dalam jasad itu terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya, ketahuilah bahwa ia adalah hati (qalbu).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sungguh beruntung bagi siapapun wabilkhusus aktifis dakwah , yang mampu menata qolbunya menjadi hati yang baik, bening, jernih, bersih, dan selamat
Sungguh berbahagia dan mengesankan bagi siapapun sekiranya memiliki qolbu yang tertata, terpelihara, dan terawat dengan sebaik-baiknya. Karena selain senantiasa merasakan kelapangan, ketenangan, ketenteraman, kesejukan, dan indahnya hidup di dunia ini, pancaran kebeningan hati pun akan tersemburat pula dari indahnya setiap aktivitas yang dilakukan .
Betapa tidak, orang yang hatinya tertata dengan baik, wajahnya akan jauh lebih jernih, bagai embun menggelayut di ujung dedaunan di pagi hari yang cerah, lalu terpancari sejuknya sinar mentari pagi; jernih, bersinar, sejuk, dan menyegarkan. Tidak berlebihan jika setiap orang akan merasa nikmat menatap pemilik wajah yang cerah, ceria, penuh sungging senyuman tulus seperti ini.
Begitu pula ketika berkata, kata-katanya akan bersih dari melukai, jauh dari kata-kata yang menyombongkan diri, terlebih lagi ia terpelihara dari kata-kata riya. Subhanallah!. Setiap butir kata yang keluar dari lisannya, yang telah tertata dengan baik ini, akan terasa sarat dengan hikmah, sarat dengan makna, dan sarat akan manfaat. Tutur katanya bernash dan berharga. Inilah buah dari gelegak keinginan di lubuk hatinya yang paling dalam untuk senantiasa membahagiakan orang lain.
Hati yang bersih merupakan buah dari amal yang diperbuat seseorang. Bakr bin Abdullah Al-Muzanni, seorang tabi’in mengungkapan akan hal ini seperti dalam penuturannya;
Jika kalian mendapati pada saudaramu kekeringan, maka segeralah bertaubat kepada Allah, karena sesungguhnya itu merupakan akibat dari dosa yang ia kerjakan. Dan apabila kalian mendapati dari mereka bertambah kasih sayang, yang demikian itu merupakan buah dari ketaatan, maka bersyukurlah kepada Allah.
Orang yang bersih hati, akal pikirannya pun akan jauh lebih jernih. Baginya tidak ada waktu untuk berpikir jelek. Apalagi berpikir untuk menzhalimi orang lain, sama sekali tidak terlintas dibenaknya. Waktu baginya sangat berharga. Mana mungkin sesuatu yang berharga digunakan untuk hal-hal yang tidak berharga?
Sungguh suatu kebodohan yang tidak terkira. Karenanya dalam menjalani setiap waktu yang dilaluinya ia pusatkan segala kemampuannya untuk menyelesaikan setiap tugas hidupnya. Tak berlebihan jika orang yang bersih hati seperti ini akan lebih mudah memahami setiap permasalahan, lebih mudah menyerap aneka ilmu pengetahuan, dan lebih cerdas dalam melakukan beragam kreativitas pemikiran. Bersih hati ternyata telah membuahkan aneka solusi optimal dari kemampuan akal pikirannya. Subhanallah!
Kesehatan tubuh pun terpancari pula oleh kebeningan hati, buah dari kemampuannya menata qolbu. Detak jantung menjadi terpelihara, tekanan darah terjaga, ketegangan berkurang, dan kondisi diri yang senantiasa diliputi kedamaian. Tak berlebihan jika tubuh pun menjadi lebih sehat, lebih segar, dan lebih fit. Tentu saja tubuh yang sehat dan segar seperti ini akan jauh lebih memungkinkan untuk berbuat banyak kepada umat.
Tarnyata hati yang bersih, sangat banyak manfaatnya. Apalagi kita sebagai aktifis dakwah. Aktifis dakwah yang telah tertata hatinya adalah aktifis yang telah berhasil merintis tapak demi tapak jalan ke arah kebaikan. Tidak mengherankan ketika ia menjalin hubungan dengan sesama manusia pun menjadi sesuatu yang teramat mengesankan. Hati yang bersih akan mampu menaklukan hati orang lain dan itulah wasilah dakwah kita sebelum kita menaklukan hati orang lain. Abbas As-sisi mengatakan Abbas:
”Menaklukan hati lebih didahulukan sebelum menaklukan akalnya.”
Hati yang bersih, ibarat magnet yang dapat menarik benda-benda di sekitarnya. Akan terpancar darinya akhlak yang indah mempesona, rendah hati, dan penuh dengan kesantunan. Siapapun yang berjumpa dengannya akan merasakan kesan yang mendalam, siapapun yang bertemu dengannya akan memperoleh aneka manfaat kebaikan, bahkan ketika berpisah sekalipun, orang seperti ini menjadi buah kenangan yang tak mudah dilupakan. Dan tentunya bagi seorang aktifis dakwah, hati yang bersih merupakan modal untuk dapat menaklukan hati-hati manusia untuk diajak ke jalan yang benar yang kemudian digiring bersama-sama untuk berjuang di jalan Allah swt.
Subhanallah!, lebih dari semua itu, kebersihan hati pun ternyata dapat membuat hubungan dengan Allah swt. menjadi luar biasa membawa manfaat. Dengan berbekal keyakinan yang mendalam, mengingat dan menyebut-Nya setiap saat, meyakini dan mengamalkan ayat-ayat-Nya, membuat hatinya menjadi tenang dan tenteram. Konsekuensinya, dia pun menjadi lebih akrab dengan Allah, ibadahnya lebih terasa nikmat dan lezat. Begitu pula doa-doanya menjadi luar biasa mustajab. Mustajabnya doa tentu akan menjadi solusi bagi persoalan-persoalan hidup yang dihadapinya. Dan yang paling luar biasa adalah karunia perjumpaan dengan Allah Azza wa Jalla di akhirat kelak, Allahu Akbar. Allahu a’lam

Rindu akan KAMPOENG AKHERAT

Banyak kisah tentang kerinduan. Rindu anak kepada orang tuanya yang sedang berada di kampung, atau sebaliknya rindu orang tua terhadap anaknya yang sedang dalam perantauan di negeri seberang. Ketika rasa rindu itu datang, pastinya kita akan selalu teringat akan apa yang kita rindukan.

Seorang anak yang rindu terhadap orangtuanya di kampung, ia akan berusaha mengumpulkan bekal untuk biaya pulang dan untuk membawa oleh-oleh yang terbaik untuk orangtuanya. Begitupun orang tua yang merindukan anaknya di perantauan, ia akan mempersiapkan apa saja kesukaan anaknya untuk menyambut kedatangannya ketika kabar berita kedatangan anaknya itu didengarnya.

Kisah rindu diatas adalah kisah rindu anak terhadap orangtuanya dan rindu orangtua terhadap anaknya. Lain halnya dengan kisah rindu antara dua orang kekasih yang sedang jatuh cinta. Dalam segala kondisi mereka selalu ingat terhadap kekasihnya, ketika sedang makan, minum, berjalan, duduk bahkan ketika sedang tidurpun teringat kekasihnya sampai-sampai terbawa mimpi.

Seperti itulah rindu ketika datang menghampiri. Kita akan selalu ingat terhadap apa yang kita rindukan. Rindu kampung halaman, rindu orangtua, rindu anak, rindu kekasih, dan rindu-rindu yang lainnya.

Tetapi bagi orang beriman kerinduan yang harus ada adalah kerinduan terhadap kampung akhirat, rindu tempat dimana kita akan hidup selama-lamanya disana kelak.
Rindu akan kampung akhirat berarti kita senantiasa teringat kepada pemiliknya yaitu Allahu Rabbul ’Alamin, pencipta segala apa yang ada di jagat raya kehidupan, jagat raya kehidupan dunia dan akhirat. Rindu itu tercermin dari apa yang dilakukannya ketika di dunia ini untuk senantiasa ingat kepada-Nya.

Banyak kisah hamba beriman yang mencerminkan kerinduan akan kampung akhirat, yang dilakukannya senantiasa ingat kepada Allah SWT. Seperti kisah pengembala pada zaman Khalifah Umar Bin Khattab ra. Pada saat itu Abdullah bin Dinar dan Umar Bin Khattab ra. sedang dalam perjalanan menuju Makkah, di tengah perjalanan mereka beristirahat. Tiba-tiba muncul seorang pengembala menuruni lereng gunung dan melewati mereka berdua.
Umar kemudian bertanya kepada pengembala itu: ”Hai Pengembala, juallah seekor kambingmu kepada saya?”. ”Tidak, saya ini seorang budak”, jawab pengembala itu.
”katakan saja kepada tuanmu bahwa dombanya di terkam serigala”, Umar menguji.
Dengan tegas pengembala itu berkata: ”Kalau begitu, dimana Allah SWT?”.
Ketika mendengar jawaban pengembala itu Umar bin Khattab ra. menangis. Kemudian Umar pergi bersama pengembala tersebut menemui tuannya, untuk dimerdekakannya.
Dan umar pun seraya berkata: ”Kamu telah dimerdekakan di dunia ini oleh ucapanmu dan semoga ucapan itu bisa memerdekakanmu di akhirat kelak”.

Kisah lainnya adalah kisah ibu dan putrinya penjual susu yang juga terjadi pada zaman Khalifah Umar bin khattab ra. Ketika ibunya ingin mencampur susu yang akan dijualnya dengan air, supaya mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, putrinya mengingatkan: ”Bagaimana jika Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. mengetahui?”.
Sang Ibu tidak menghiraukan nasihat dari anaknya dan bersihkeras melaksanakan keinginannya itu. Dan putrinya pun kembali menasihati: ”Kalaupun Amirul Mukminin tidak melihat kita tetapi Rabb Amirul Mukminin melihat kita”.

Begitulah apa yang dilakukan oleh orang yang ada kerinduan dalam dirinya akan akhirat, mereka senantiasa ingat kepada Allah SWT. Selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan-perbuatan dosa baik dalam keramaian ataupun dalam kesendiriannya. Kita mengenal hal itu dengan istilah Muroqobatullah atau merasakan pengawasan Allah SWT, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat dan yang tidak pernah mengantuk dan juga tidur.

”...dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Qs. Al Hadiid:4)

”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. Al Baqarah:255)

Dengan sifat Muroqobatullah itu kita akan senantiasa ingat kepada-Nya. Dan orang-orang yang rindu akan kampung akhirat, sifat ini akan selalu dipelihara. Tentunya Muroqabatullah ini akan mengangkat derajat seorang hamba menjadi orang-orang yang Taqwa.

Karena sebagaimana didefinisikan oleh sebagian ulama Taqwa adalah hendaklah Allah tidak melihat kamu berada dalam larangan-larangan-Nya dan tidak kehilangan kamu dalam perintah-perintah-Nya. Definisi Taqwa lainnya adalah mencegah diri dari adzab Allah dengan berbuat amal sholeh dan takut kepada-Nya dikala sepi atau terang-terangan.

Dan Taqwa adalah jalan untuk meraih kebahagian di kampung akhirat sana, yaitu syurga yang mengalir dididalamnya sungai-sungai. Sungguh begitu damai terasa kampung akhirat yang bernama syurga itu. Semoga kita kelak ada diantara hamba yang berada didalamnya. Amin... Ya Rabbal ’Alamin...

”Perumpamaan syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang taqwa ialah (seperti taman); mengalir sungai-sungai didalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.” (Qs. Ar Ra’d:35)

Wallahu a’lam bishshawab

Agar Ramadhan Tahun Ini Berharga (Bagian dua)

Sukses Ramadhan, tergantung seberapa jauh kita mempersiapkan diri. Persiapan fisik, pikiran dan mental insya Allah akan membuat Ramadhan kita berkualitas.
Mengapa saya menulis tentang Ramadhan saat sekarang, padahal Ramadhan masih 1/2 bulan lagi. Karena biasanya, kita baru tersadar kalau Ramadhan sudah diambang mata. Apalagi bagi para pekerja kantoran yang selalu dihiasi target deadline setiap harinya. Pastinya mereka seperti terseret arus putaran waktu, hingga dilarutkan dengan pekerjaan kantor yang tak ada habisnya. Dan tiba-tiba, Ramadhan datang, lewat dan pergi tanpa kita sadari.
Ramadhan bulan mulia, bulan suci yang kita analogikan sebagai tamu. Bagaimanakah biasanya kita mempersiapkan tamu agung yang akan berkunjung ke rumah kita? Ibarat seorang pejabat tingkat tinggi dari negara lain yang berkunjung ke Indonesia, maka sejumlah persiapan diadakan dari jauh-jauh hari. Mulai dari persiapan penyambutan oleh sekompi pasukan angkatan darat maupun udara, persiapan acara untuk sang tamu, hingga acara penutupan. Semuanya harus dipersiapkan dengan baik agar tidak meninggalkan kesan buruk di mata sang tamu.
Ramadhan adalah tamu agung yang Allah telah memuliakannya di banding bulan-bulan lainnya. Ayat dan hadist tentang beberapa kemuliaan Ramadhan tentu sudah sering kita baca dan dengar melalui kajian internet dan ceramah-ceramah agama. Salah satunya adalah hadis berikut :
Dari Ubadah bin Ash-Shamit, bahwa Rasulullah saw -pada suatu hari, ketika Ramadhan telah tiba- bersabda: Ramadhan telah datang kepada kalian, bulan yang penuh berkah, pada bulan itu Allah swt memberikan naungan-Nya kepada kalian. Dia turunkan Rahmat-Nya, Dia hapuskan kesalahan-kesalahan, dan Dia kabulkan do’a. pada bulan itu Allah swt akan melihat kalian berpacu melakukan kebaikan. Para malaikat berbangga dengan kalian, dan perlihatkanlah kebaikan diri kalian kepada Allah. Sesungguhnya orang yang celaka adalah orang yang pada bulan itu tidak mendapat Rahmat Allah swt”. (HR Ath-Thabarani) .
Bulan Ramadhan, bulan dilipatgandakan pahala dan bulan diampuninya dosa-dosa. Beribadah sunnah di bulan ini pahalanya sama dengan mengerjakan pahala ibadah wajib. Kemudian Allah juga memberikan kemuliaan berupa tiga hal yaitu 10 hari pertama adalah rahmat, 10 hari kedua adalah ampunan, dan 10 hari terakhir adalah terbebas dari api neraka. Dan dibulan ini ada satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan. Jika melihat istilah saya pada tulisan bagian pertama, Ramadhan adalah bulan obral pahala, Ramadhan is Great Sale. Maka, siapa yang tak ingin menyiakan bulan penuh rahmat itu?
Karenanya, sedini mungkin kita melakukan persiapan untuk menyambut Ramadhan. Persiapan itu alangkah baiknya dimulai dari bulan Rajab, bulan yang juga merupakan salah satu bulan yang Allah muliakan.
Mengapa ada hadist Nabi : “Allahumma ballighna fii Rajaba wa Syaban wa ballighna Ramadan”? Artinya : Ya Allah, sampaikan kami pada (bulan) Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan kami pada (bulan) Ramadhan. Hal ini secara tersirat dimaksudkan agar kita mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan melakukan amalan ruhiyan sejak bulan Rajab tiba.
Amalan-amalan yang bisa dilakukan bisa berupa amalan yang bersifat fikriyah (pikiran/wawasan), jasadiyah (fisik), maupun ruhiyah (mental). Untuk persiapan fikiran, kita bisa menggali ilmu dengan membaca buku-buku tentang keutamaan Ramadhan dan buku lainnya yang memperluas wawasan. Seperti buku-buku sejarah nabi, mukjizat Al Quran, dan juga buku tentang fikih yang membahas tentang tata cara solat dan puasa sunnah, dan lain-lain. Bagi seorang muslim, fikih itu sangat penting dipelajari.
Karena, pepatah mengatakan : “Amal tanpa ilmu akan sia-sia.” Dan ilmunya amal adalah Fikih.
Begitu pula, dengan persiapan jasadiah/fisik, bisa dilakukan dengan banyak mengonsumsi makanan bergizi seperti buah dan sayur. Tujuannya untuk membantu mengeluarkan sisa-sisa pembuangan berupa kotoran dan racun dari dalam tubuh. Atau bisa juga ditambah dengan suplemen atau berbekam yang membantu proses detoksifikasi. Sehingga ketika memasuki Ramadhan, kondisi tubuh benar-benar dalam keadaan sehat sempurna, sehingga terhindar dari lemas, lelah apalagi sakit.
Sedangkan untuk amalan ruhiyah/mental bisa dengan berpuasa sunnah senin - kamis. Atau bagi yang belum melunasi hutang-hutangnya di bulan Ramadhan, kesempatan untuk melunasinya sejak bulan Rajab. Karena alangkah baiknya kita mendahulukan amalan wajib dengan melunasi hutang di bulan Ramadhan, baru setelahnya melakukan amalan sunnah.
Selain mendapat pahala, dengan melakukan puasa senin - kamis, secara tak langsung kita akan terbiasa dan tak canggung lagi untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Artinya fisik kita sudah ‘welcome’ untuk berpuasa ketika Ramadhan tiba. Bagi yang sering mengalami kelelahan fisik atau lemas ketika puasa di bulan Ramadhan, apalagi ditambah pekerjaan di kantor yang menguras tenaga dan pikiran, bisa jadi karena tidak membiasakan diri dengan puasa sunnah sebelum Ramadhan.
Dengan ketiga persiapan di atas, insya Allah kita bisa menyambut dan ‘memperlakukan’ Ramadhan –sang tamu- dengan sebaik-baiknya. Sehingga kita bisa meraih banyak kemuliaan (lailatul Qadr) dari Ramadhan. Dan yang paling penting, seperti yang Allah maksudkan untuk orang-orang berpuasa adalah agar kita bertakwa (QS 2; 183).

Rabu, 12 Agustus 2009

Agar Ramadhan Tahun Ini Berharga

Dua hari menjelang Ramadhan tahun lalu, aku menerima sms begini bunyinya : ”Welcome to Ramadhan Great Sale ” Jangan lewatkan : Obral Pahala besar-besaran, Diskon dosa s/d 99 % + doorprize Lailatul Qadr” Buruan! Hanya 30 hari!!
Sebelum membalasnya, aku teringat perkataan seorang teman tentang kalimat ini: Ramadhan is the Great Sale. Tentunya, bayangan kita menangkap moment Great Sale adalah pesta discount yang biasanya diadakan saat ulang tahun kota Jakarta. Dan digelar di mal-mal tertentu yang biasa menyelenggarakan great sale seperti di Sarinah atau Blok M Mall.
Dan saat itu, harga dibanting habis. Discountnya juga besar-besaran, bahkan sampai 70 %. Dan, saat itu juga semua orang tertarik untuk berbondong-bondong belanja. Demikian pula dengan Ramadhan.
Namun, rutinitas keseharian yang kita jalani setiap harinya tanpa tersadar menyeret kita ke arus perubahan waktu. Tak sadar kita bertemu dengan bulan berkah yang suci bulan Ramadhan. Di bulan ini, ada 3 kelompok sikap yang menyambutnya,
Pertama, orang yang menyambut dengan suka cita dan gembira, karena mengetahui nilai kemuliaan di bulan ini, maka ia mengisinya tidak hanya berpuasa tetapi ditunjang dengan amal ibadah yang lain.
Kedua, orang yang menyambutnya dengan sikap biasa-biasa saja dan tetap berpuasa.
Ketiga, orang yang menyambutnya dengan sikap menyesal bahkan menganggap bulan ini adalah bulan pengekangan hawa nafsu yang dianggap merugikan.
Atas sikap yang pertama, si penyambut tidak akan menyia-nyiakan kehadiran Ramadhan. Ia dianggapnya tamu jauh yang kehadirannya sangat sulit ditemui. Ia pun belum merasa yakin tamu tersebut datang mengunjunginya di tahun-tahun yang akan datang. Inilah analogi yang ia gunakan. Karenanya ia tidak ingin menyia-nyiakan setiap malam-malamnya. Ia mengerti betul hadist tentang keistimewaan Ramadhan. Bahwa 10 malam pertama adalah rahmat, 10 malam kedua adalah maghfiroh dan 10 malam yang ketiga adalah terbebas dari api neraka.
Sementara terhadap kelompok yang kedua, ia tetap berpuasa. Ia tetap melaksanakan solat sebagaimana hari-hari di luar Ramadhan. Namun, ia tidak menemukan keistimewaan di dalam bulan ini. Sepulang dari aktivitas pekerjaan, ia seperti biasanya menonton tv sambil menunggu waktu berbuka, kemudian mandi, solat magrib, makan malam kemudian dilanjutkan dengan nonton tivi atau istirahat karena lelah setelah seharian bekerja. Tidak ada yang istimewa.
Sementara terhadap kelompok ketiga, ia kadang berpuasa kadang juga tidak. Aktivitas sehari-harinya lebih banyak digunakan dengan tidur karena menganggap bulan puasa sebagai bulan istirahat. Pun ia tidak berpuasa.
Dari analogi ketiga kelompok di atas tentunya kita dapat mengelompokkan diri masing-masing. Berada di dalam kelompok manakah diri kita? Alangkah bahagianya jika kita berada dalam kelompok pertama yang benar-benar mengistimewakan kehadiran bulan Ramadhan.
Terkadang sebagian kaum muslim yang sudah mengetahui keistimewaannya pun sulit mengatur hari-harinya bersama Ramadhan. Aktivitas pekerjaan yang menyita pikiran dan tenaga membuatnya lelah dan kalah untuk mengisi malam-malam Ramadhan dengan amalan ruhiyah. Ketika Ramadhan sudah diambang pintu, ia bertekad untuk menyambutnya dengan suka cita. Ia bertekad akan mengisinya dengan amalan ruhiyah. Namun, setelah berlalu satu malam, dua malam, dan seterusnya hingga Ramadhan berakhir ia tidak berhasil.
Pekerjaan dan penat menjadi alasan nomor satu yang membuatnya tertidur lelap. Ini adalah fenomena yang tidak bisa dipungkiri menjangkiti hampir setiap diri para muslimah. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita berusaha menyambut tamu istimewa Ramadhan dengan spesial? Sudahkah kita memaknainya dengan kondisi ruhiyah yang khusyu' berserah diri? Memohon ampun atas dosa dan khilaf di sebelas bulan yang telah terlewati? Karena di bulan inilah kesempatan dosa-dosa diampuni jika kita tidak yakin di bulan yang lain diampuni.
Menambah keimanan dengan mendekatkan diri kepada-Nya dengan bermunajat, bertahajjud atau bertarawih di malam-malamnya tentunya akan terasa perbedaannya. Karena pada malam-malam itu malaikat turun mengiringi hamba-hamba yang menegakkan solat.
Karenanya, sebisa mungkin untuk tidak terlalu sering mengonsumsi televisi di bulan Ramadhan. Karena jika kita melakukannya maka kita akan terseret oleh sihir cerita picisan sinetron yang tidak berkualitas. Alangkah lebih baiknya jika kita melakukan solat tarawih atau bahkan tidur untuk mempersiapkan tenaga menegakkan solat lail (solat tahajjud di tengah malam).
Ramadhan adalah bulan latihan untuk menempa diri. Bulan tidak makan dan tidak minum untuk perbaikan metabolisme tubuh. Bulan dimana kita ’dipaksa’ untuk melakukan aktivitas terbaik dengan istirahatnya tubuh dari makan dan minum. Bulan dimana kita mengaktifkan sel-sel tubuh yang lain, yaitu potensi otak dan hati kita. Bulan dimana kita bisa mendapatkan pahala dimana di bulan-bulan sebelumnya kita belum tentu mendapatkannya. Bulan dimana dengan solat sunah saja kita mendapat pahala yang sama besarnya dengan solat wajib. Bulan dilipatgandakannya pahala. Tidakkah kita bersyukur dengan adanya Ramadhan? Subhanallah, Allah begitu sayang pada kita. Ia menurunkan rahmat-Nya melalui Ramadhan. Bulan dimana kita bisa berkesempatan meraih pahala, rahmat, hidayah dan ampunan-Nya.
Jika kita ingin diberi dengan suatu hadiah yang mulia, maka marilah kita muliakan sang tamu dengan suatu yang mulia. Istimewakanlah tamu itu, niscaya kita tidak akan menyesal di kemudian hari. Apalagi jika ternyata tanpa kita sadari dan duga, kita tidak akan bertemu lagi di Ramadhan berikutnya. (bersambung)
Ana Mardiana